Putra Altar & Putri Sakristi GEREJA SANTO LAURENSIUS
Gereja Santo Laurensius, Paroki Alam Sutera - Tangerang
  • Home
  • Sekilas PAPS
  • Pengetahuan
  • Gallery PAPS
  • Jadwal & Kelompok
  • Serba-serbi

Tata Gerak dan Peralatan Liturgi

Picture
Picture


​Warna Merah Muda pada Masa Advent
​

Picture

​     Warna merah muda yang artinya adalah sukacita dan kebahagiaan ( joy, happiness, rejoice) memang hanya dipakai pada hari Minggu Adven ke-3/ Gaudete Sunday (atau ke-4/ Laurete Sunday) yang maksudnya mengingatkan bahwa Natal sebentar lagi akan tiba. Umumnya, Gereja Katolik menggunakan warna liturgi merah muda (pink/ rose) pada jubah Pastor/ imam, maksudnya untuk menandai bahwa saat hari Minggu itu kita telah berada di pertengahan masa Adven. Digunakan hanya pada hari Minggu-nya saja (dan bukan pada hari-hari sesudahnya) karena setiap hari Minggu pada dasarnya adalah hari perayaan, di mana kita memperingati hari kebangkitan Kristus. Sedangkan pada hari-hari biasa kita kembali menerungkan masa Pertobatan pada masa Adven, sehingga warna yang digunakan adalah tetap ungu.
Aturan tentang penggunaan warna-warna dalam liturgi ada dalam General Instruction of the Roman Missal yang baru,
General Instruction of the Roman Missal, No. 346

     Jadi, warna merah muda memang digunakan hanya pada hari Minggu ke 3 Adven, (atau juga pada hari Minggu ke-4 Adven), tergantung kebiasaan keuskupan setempat. Dan pada hari-hari biasa di masa Adven, warna tetap ungu. Namun jika di paroki tidak ada vestment/ jubah Pastor warna merah muda tersebut, yang dipakai adalah tetap warna ungu.

(17 Desember 2017, sumber: Katolisitas.org)

Santo Tarsisius - Santo Pelindung Putera Altar

Picture
Riwayat Hidup Santo Tarsisius
​
Santo Pelindung Misdinar/PAPS
​

Tarsisius adalah seorang pelayan altar (akolit) yang hidup di abad ketiga, pada zaman pemerintahan
Kaisar Valerianus. Ia tinggal di Roma, Italia. Ketika berumur sepuluh tahun, ia bersama ibunya biasa mengikuti Misa pagi. Masa itu masa penganiayaan bagi umat Kristiani; karena itu Misa pagi dilakukan di tempat yang tersembunyi.  Setelah memastikan sekelilingnya aman, Tarsisius mengetuk sebuah dinding
batu. Itu adalah pintu masuk menuju sebuah makam bawah tanah yang dijadikan kapel. Tempat ini
​sering disebut katakombe. Mereka berjalan merangkak masuk, dan di sana ditemukan begitu banyak umat Kristiani yang sedang berdoa.

Tak lama kemudian, muncul seorang imam. Mereka bersama-sama merayakan Perjamuan Tuhan. Tarsisius merasa amat bahagia bila menerima Tubuh Kristus. Setiap kali mendengar imam berkata: “Makanlah dan minumlah, inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku”, Tarsisius merasa damai. Namun hari itu, setelah Misa selesai, pastor yang memimpin misa (Tradisi lain menyebutkan : Paus yang memimpin misa) melihat sekeliling. Ia berseru, “Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?” Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat. Dari umat yang hadir ada seorang serdadu Roma yang baru saja bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk melakukan tugas itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini pun sedang dicari-cari. Tarsisius merasa mampu melaksanakan tugas mulia itu. Tanpa bersuara, ia menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud Tarsisius dan menganggukkan kepala. Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.” Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kau perbuat?” Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.” Melihat keberanian Tarsisius, imam lalu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius. Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, justru saat melewati sebuah lapangan tempat teman-teman Tarsisius sedang bermain, halangan muncul. Teman-temannya mengajaknya bermain. Tarsisius menolak. Teman-temannya heran. Mereka mengerumuni Tarsisius. Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu di tangan, mereka menarik tangan Tarsisius, dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan tangannya. Bahkan, ia semakin kuat mempertahankan apa yang sedang dipegangnya. Akhirnya, Tarsisius jatuh.

Picture
Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil melepaskan tangan Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming namun tangannya tetap tak terbuka. Kini, ia semakin kuat memeluk Sakramen Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali. Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah tak sadarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya telah menawarkan diri untuk membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak sadarkan diri. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.
Tarsisius meninggal dalam perjalanan pulang menuju katakombe. Jasadnya dimakamkan di katakombe santo Kalisitus, Roma. 

Biasanya pada gambar Santo Tarsisius ada kotak emas yang di simpan di dada. Kotak tersebut bernama piksis memiliki fungsi yang sama seperti sibori untuk membawa Sakramen Mahakudus
Ada sebuah doa yang biasanya kita paps doakan sebelum tugas, supaya kita bisa bertugas dengan baik
​

Picture
.DOA SANTO TARSISIUS
 Santo Tarsisius, engkau telah menunjukkan kepada kami bahwa kami harus rela mengorbankan segala-galanya bagi Tuhan.
Engkau malah sampai wafat karena cinta kepada Ekaristi Kudus.
Tolonglah kami untuk menjadi putera – puteri altar yang baik,
yang tidak pernah terlambat, sungguh – sungguh berdoa, serta mencintai Tuhan dengan sepenuh hati.
Amin
​

Semuanya wajib hafal doa ini yaa


Video diatas sebagai salah satu rujukan, 
PAPS tetap mengikuti tata gerak sesuai yang dijelaskan dalam latihan.
Picture
Picture

LITURGI

TATA GERAK DAN PERALATAN LITURGI


Guna menyeragamkan tata gerak tugas PAPS, maka tulisan dan gambar- gambar di bawah ini dibuat sebagai acuan bagi putra altar dan putri sakristi dalam bertugas. Diharapkan juga para PAPS angkatan-angkatan baru dapat merujuk bahan dibawah ini sebagai bahan pembelajaran dan test penerimaan PAPS di kemudian hari. Semoga bermanfaat.


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan 
Dalam Tugas Putri Sakristi
oleh Vania Clarensia

1. Piala
-   Menyusun piala dengan susunan yang benar dan lengkap. Pastikan sudah ada hosti besar di dalamnya
-   Membawa dan meletakkan piala di kredens menggunakan nampan
-   Letak Piala di kredens adalah di tengah (diantara sibori dan ampul lavabo)
-   Jangan terbalik antara piala dan sibori. Piala tidak ada tutup, sedangkan sibori ada tutup yang diberi             nomor.
 
2. Sibori
-   Jumlah sibori = (jumlah prodiakon + pastur) – jumlah sibori di tabernakel
-   Cek jumlah sibori yang disiapkan dengan jumlah sibori di tabernakel yang dapat di cek di table prodiakon
-   Isi sibori dengan hosti
-   Membawa dan meletakkan sibori di kredens menggunakan nampan
-   Letak Sibori di kredens di paling kiri/paling dalam
-   Selalu konfirmasi/update jumlah sibori dengan prodiakon. Jika ada perubahan, segera tambah sibori             beserta dengan lap prodiakonnya
 
3. Ampul dan Lavabo
-   Ampul (berisi anggur dan air, anggur di sebelah kanan)
-   Ampul dan Lavabo dibawa menggunakan nampan, namun diletakkan tanpa nampan di kredens
-   Ampul dan Lavabo diletakkan di kredens di paling kanan
-   Lavabo dinaikkan beserta dengan kainnya
   
4. Lap Prodiakon
-   Siapkan lap prodiakon sesuai dengan jumlah prodiakon yang bertugas
-   Letakan di ujung meja altar , dibagi 2 jumlahnya (setengah di kiri, setengah di kanan)
-   Jangan terbalik antara lap prodiakon dengan purificatorium. Lap prodiakon salibnya terletak di bawah,         sedangkan purificatorium salibnya terletak di tengah
 
5. Buku 
-  Cek buku bacaan dengan kalender liturgi, diletakkan di ambo
-  Buku TPE, misa, puji syukur, intensi di letakkan di panti imam
-  Buku TPE dan misa dibuka
-  Teliti dalam menulis intensi
-  Selipkan daftar lagu di puji syukur
-  Letakkan map untuk lektor di kursi lektor, dan map untuk pastur di panti imam
 
6.Baju dan Tata Gerak
-  Jalan dengan tangan tertutup dan lurus, letak tangan tetap berada di depan dada
-  Pastikan alba sudah  rapi sehingga tidak jatuh saat berjalan
-  Selalu berlutut sebelum dan sesudah menaiki altar
   
7.Baju Pastur dan Lilin 
-  Jangan lupa menyiapkan baju pastur sesuai dengan warna liturgy
-  Nyalakan lilin bawah jika ada umat, dan nyalakan lilin di atas

Diharapkan kesiapan Putri Sakristi dalam menjalankan tugas, dan selalu datang tepat waktu. Terimakasih 


Mengenal Busana Liturgi Uskup

Picture
Yang dimaksud busana liturgi uskup dalam hal ini adalah busana yang dikenakan uskup saat upacara-upacara liturgi, termasuk di antaranya Misa, Ibadat Harian dan berbagai kesempatan memberikan sakramen dan sakramental.

Selain busana liturgi, uskup juga mempunyai busana resmi dan busana sehari-hari, yang dikenakan dalam acara-acara yang bukan upacara liturgi. Contohnya, saat menerima tamu, menghadiri berbagai rapat dan undangan, dan termasuk juga menghadiri wisuda universitas Katolik.


Picture
Pada prinsipnya busana liturgi uskup yang paling mendasar dan pertama adalah yang dalam Caeremoniale Episcoporum (CE-Tata Upacara Para Uskup) disebut sebagai Habitus Choralis, seperti yang dikenakan oleh Uskup Surabaya YM Vincentius Sutikno Wisaksono pada gambar di samping, yaitu: jubah ungu setakat mata kaki (1) dan sabuk sutera ungu (2); rochet dari linen atau bahan sejenis (3); mozeta ungu (4); salib pektoral, dengan tali anyaman warna hijau-emas (5) (bukan dengan rantai); pileola ungu (6), yang mungkin lebih dikenal dengan nama solideo atau zucchetto; bireta ungu (7); cincin (8); dan stocking/kaos kaki ungu (tidak terlihat).

Jubah ungu (1) adalah jubah liturgi uskup. Sama dengan jubah resminya yang berwarna hitam/putih, jubah ungu ini dilengkapi dengan aksen warna merah (bukan ungu) di bagian tepi, lubang kancing dan kancing. Yang beda, bagian lengan bawah jubah ungu ini, yang ditekuk ke atas sekitar 20-25 cm, dilapis dengan sutera warna merah.

Sabuk sutera ungu (2) uskup untuk keperluan liturgi dan non liturgi sama saja barangnya. Sabuk ini dikenakan di dada bagian bawah, bukan di pinggang.
Rochet (3) adalah busana khusus uskup yang mirip dengan superpli. Bedanya, bagian lengan rochet sempit dan superpli (seharusnya) lebih lebar. Biasanya, bagian bawah badan dan lengan rochet terbuat dari renda yang cukup lebar.


Picture
Mozeta ungu (4) adalah mantol kecil yang hanya boleh dipakai oleh uskup. Sebelum reformasi aturan busana di tahun 1969, mozeta bahkan hanya boleh dipakai uskup kala ia berada di dalam wilayah keuskupannya. Selain uskup, ada beberapa ordo dan kanon reguler, yang sejak ratusan tahun lalu oleh Paus diberikan hak mengenakan mozeta (dengan warna lain). Termasuk dalam kelompok ini di antaranya adalah para Fransiskan, Karmelit, Dominikan dan Kanon Reguler Salib Suci. Mozeta atau apapun namanya, yang bentuknya mirip dengannya, hendaknya tidak dikenakan oleh misdinar, seperti yang marak belakangan ini.

Salib pektoral pasangan jubah ungu harus digantung dengan tali anyaman warna hijau-emas (5). Untuk jubah resmi warna hitam/putih, salib pektoral digantung dengan rantai. Salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas mozeta. Dalam Misa, salib pektoral dengan tali hijau-emas ini dikenakan di atas alba dan di bawah kasula dan dalmatik pontifikal (bukan di atas kasula). (Bdk. CE 61)

Pileola atau solideo atau zucchetto ungu (6) adalah topi bundar dan kecil. Sesuai tradisi, pileola sebenarnya dikenakan oleh semua klerus. Pileola imam berwarna hitam, uskup ungu, kardinal merah dan Paus putih. (Catatan: Seturut tradisi, jubah imam berwarna hitam; meski begitu, putih selalu boleh digunakan imam, uskup dan kardinal di daerah tropis) Awalnya, pileola adalah pelindung kepala dari hawa dingin, untuk dikenakan oleh semua klerus yang sudah di-tonsura (dicukur gundul, seperti sering kita lihat pada gambar/patung St. Fransiskus Asisi atau St. Antonius Padua).

Bireta ungu (7) adalah topi segi empat yang dikenakan di atas pileola. Bireta uskup berwarna ungu dan bireta imam berwarna hitam, keduanya dilengkapi dengan pom yang sewarna. Bireta kardinal berwarna merah, terbuat dari sutera bermotif air, dan tidak dilengkapi dengan pom.

Cincin (8) senantiasa dikenakan uskup, sebagai simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya. (Bdk. CE 1199)


Cappa Magna atau mantol kebesaran uskup warnanya ungu, seperti tampak pada gambar di samping. Cappa magna tradisional dalam foto di samping panjangnya 8 meter. Cappa magna modern panjangnya hanya 4.5 meter, baik untuk uskup maupun kardinal. Cappa magna boleh dikenakan uskup hanya di dalam wilayah keuskupannya dan untuk perayaan-perayaan yang paling agung. (Bdk. CE 1200)

Uskup mengenakan busana liturgi tersebut di atas saat ia bepergian secara resmi di depan publik ke atau dari gereja, saat ia hadir dalam suatu upacara liturgi tetapi tidak memimpinnya, dan dalam berbagai kesempatan lain yang dinyatakan dalam Caeremoniale Episcoporum. (Bdk. CE 1202)


Picture
Secara khusus, uskup diminta mengenakan busana liturgi di atas saat kunjungan pastoral (Bdk. CE 1179). Saat itu, uskup hendaknya disambut di pintu (gerbang) gereja oleh pastor paroki yang mengenakan cappa/pluviale dan membawa salib untuk diciumnya. Pastor paroki kemudian menyerahkan aspergil dan air suci, agar uskup dapat memberkati dirinya sendiri dan semua yang hadir menyambutnya. (Bdk. CE 1180)

Uskup agung mengenakan jubah liturgi yang persis sama dengan uskup. Kardinal pun juga, hanya saja warnanya merah dan khusus bahan suteranya menggunakan sutera bermotif air. Bahan sutera bermotif air ini hanya boleh dikenakan oleh kardinal dan utusan khusus Paus (misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan). Sutera bermotif air untuk nuntius, yang adalah uskup agung, berwarna ungu.

Selain jubah ungu lengkap dengan asesorisnya tersebut di atas, pada dasarnya hanya ada dua macam busana liturgi yang dikenakan uskup. Keduanya sama juga dengan busana liturgi imam, yaitu Cappa/Pluviale dan Kasula/Planeta. Pluviale dikenakan saat prosesi, saat memberikan berbagai sakramen dan sakramentali, saat memimpin Ibadat Pagi (Laudes) dan Ibadat Sore (Vesper) dan saat Misa, bila ia tidak memimpinnya atau tidak berkonselebrasi. Untuk Ibadat Bacaan, Tengah Hari dan Penutup (Completorium), baik memimpin atau tidak, uskup dapat mengenakan habitus choralis jubah ungu di atas, lengkap dengan asesorisnya. Kasula dikenakan saat Misa.

Singkatnya, busana liturgi mendasar untuk uskup adalah Habitus Choralis di atas, dan untuk upacara liturgi yang lebih meriah, dikenakan Pluviale/Cappa, dan khusus untuk Misa, dikenakan Kasula/Planeta.

Para ahli busana Gereja mengatakan bahwa sebenarnya kasula adalah pluviale yang dijahit di bagian depannya. Keduanya sama-sama berasal dari bahan kain setengah lingkaran. Pluviale juga adalah busana yang umum bagi para biarawan-biarawati dan anggota koor, untuk upacara liturgi yang meriah, sesuai tradisi.

Picture
Foto di atas : Saat Perarakan Minggu Palma, Paus mengenakan pluviale dan didampingi dua kardinal diakon yang mengenakan dalmatik. Perhatikan cara kardinal diakon memegang pluviale Paus selama prosesi, sesuai tradisi.

Berikut adalah tambahan asesoris khusus untuk uskup yang mengenakan kasula, untuk dikenakan saat Misa Stasional di Katedral ataupun Misa Agung lainnya (Bdk. CE 56 & 62).

Dalmatik Pontifikal sebenarnya sama dengan dalmatik diakon biasa, hanya yang ini bisa berwarna putih polos saja atau bisa ditambah dengan hiasan garis-garis sederhana. Busana ini dipakai di bawah kasula.

Foto-foto di atas : Saat Pencucian Kaki pada Misa Kamis Putih, Paus melepas kasula, maka nampaklah dalmatik pontifikal yang dikenakannya di bawah kasula, plus juga apron putih yang diikatkan di pinggang, yang biasanya dikenakan saat uskup memberikan sakramen krisma.

Pallium adalah kalung putih yang dikenakan di atas kasula. Pallium adalah asesoris khusus untuk uskup agung metropolitan, yaitu uskup agung yang memimpin suatu keuskupan agung. (Catatan: Ada uskup agung yang tidak memimpin keuskupan agung, misalnya Nuntius atau Duta Besar Vatikan dan pejabat-pejabat Kuria Romawi di Vatikan) Pallium dianugerahkan langsung oleh Paus kepada semua metropolitan yang baru diangkat, sekali dalam setahun, pada Hari Raya Santo Petrus dan Paulus, (29 Jun) di Vatikan (lihat foto penganugerahan pallium di atas: Paus mengenakan pallium dan uskup agung metropolitan yang berlutut di depannya baru saja menerima pallium dari Paus. Seremoriarius di sebelah kiri, Mgr. Francesco Camaldo, sedang memegang pallium juga). Pallium hanya dikenakan oleh seorang metropolitan saat ia memimpin Misa di dalam wilayah keuskupan agungnya (termasuk dalam wilayah keuskupan sufragannya).

Saat tiba di gereja untuk upacara liturgi, uskup yang mengenakan busana liturgi jubah ungu di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas dan stola. Di atas itu semua, uskup mengenakan pluviale, atau bila ia memimpin atau berkonselebrasi dalam Misa, uskup mengenakan dalmatik pontifikal (untuk Misa Agung) dan kasula serta pallium (untuk Misa Agung, khusus metropolitan).

Berikut adalah tambahan asesoris untuk uskup, saat mengenakan kasula atau pluviale, untuk upacara agung (Bdk. CE 56 & 62).


Picture
Mitra bagi seorang uskup kurang lebih sama makna dan kegunaannya dengan mahkota bagi seorang raja. Dalam tradisi Gereja Katolik, ada tiga macam mitra uskup, yaitu mitra preciosa, semi-preciosa dan mitra linen putih polos. Mitra preciosa adalah mitra yang indah dan berharga, seringkali memakai benang emas atau perak dan dilengkapi juga dengan batu permata. Mitra semi-preciosa adalah mitra yang selama ini kita lihat dipakai banyak uskup di Indonesia. Mitra putih polos dari bahan kain linen (atau kain sutera damask untuk kardinal) adalah mitra yang dipakai saat uskup berkonselebrasi, ataupun saat Misa Arwah. Satu catatan kecil, seturut tradisi, lambang uskup dapat digunakan dalam mitra, tetapi penempatannya biasanya di ujung bawah kedua pita besar di belakang dan bukan di bagian depan mitra (lihat foto di atas). Catatan: Pita berujung hitam dan bersalib merah yang ada di tengah adalah pallium, dilihat dari belakang.

Tongkat dipakai uskup hanya dalam wilayah keuskupannya. Uskup tamu yang memimpin suatu upacara agung, atas perkenan uskup diosesan setempat, dapat juga memakai tongkat. Saat beberapa uskup hadir dalam suatu upacara, hanya satu uskup pemimpin upacara yang memakai tongkat. (Bdk. CE 59)

Catatan: Artikel ini dimuat dalam Majalah Liturgi yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi KWI, Vol 22 No 3 - Mei-Jun 2011.

Sumber : 

http://tradisikatolik.blogspot.com/search/label/Piranti%20Liturgi

Busana Liturgis Lainnya

Picture
 
SUPERPLI

Istilah superpli berasal dari bahasa Latin “superpellicium” yang artinya “di atas dada”. Superli adalah pakaian luar seperti rok yang berwarna putih, panjangnya sampai di atas lutut dan memiliki lengan baju yang lebar; terkadang dengan renda-renda di bagian lengan dan lipatannya. 
 Superpli dipakai oleh imam atau diakon dalam rangka ibadat atau perayaan liturgi di luar misa, seperti adorasi, ibadat tobat, mengantar Komuni, dan ibadat-ibadat lain. Superpli merupakan pengganti alba. Tapi, tidak boleh sembarangan memakai superpli. Kalau pelayan mengenakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba dengan superpli.
Superpli bisa juga dikenakan oleh siapa saja yang bertugas dalam liturgi, termasuk para broeder, frater dan misdinar.

Picture
PLUVIALE

Arti harafiah pluviale ialah mantel hujan. Pluviale yang dipergunakan dalam liturgi merupakan kain mantel besar, indah, yang dikalungkan pada leher dari belakang dengan kancing rantai dari kedua sudut atas mantel. Dalam liturgi, pluviale dipakai oleh uskup atau imam pada perayaan liturgi di luar Perayaan Ekaristi, seperti prosesi, adorasi atau astuti, pemberkatan dengan Sakramen Mahakudus, pemberkatan mempelai tanpa misa kudus atau upacara pemberkatan lain.


Picture
VELUM

Velum merupakan sebutan bagi kain segi empat sepanjang 2-3 meter dan lebarnya sekitar 60 cm, berwarna putih atau kuning atau emas dengan hiasan indah, memiliki rantai kancing pada kedua ujung yang dapat dicantelkan di depan dada. Velum yang berarti kain selubung ini digunakan dengan cara dikalungkan dari belakang dan dikenakan pada punggung. 
Velum digunakan oleh imam atau diakon untuk menyelubungi pegangan monstrans yang berisi Sakramen Mahakudus dalam rangka prosesi Sakramen Mahakudus atau pemberkatan umat dengan Sakramen Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat berkaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi. Namun ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk membawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup biasanya berwarna putih saja.

Picture
 

DALMATIK

Dalam Perayaan Ekaristi, busana khusus bagi imam selebran ialah kasula; busana khusus bagi diakon ialah Dalmatik. Bentuk dalmatik agak mirip kasula, tetapi berbeda juga, sebab ujung dalmatik biasa dibuat persegi atau bersudut (pada kasula tidak) dan motif hiasan berupa garis-garis salib besar. 
Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa, khususnya yang bersifat agung / meriah. Tetapi, kalau tidak perlu atau dalam perayaan liturgi yang kurang meriah, diakon tidak harus mengenakan dalmatik. Busana ini melambangkan sukacita dan kebahagiaan yang merupakan buah-buah dari pengabdiannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa.

Picture
STOLA DIAKON

Sama dengan stola imam, hanya cara mengenakannya yang berbeda. Imam mengenakan stola dengan cara mengalungkannya pada leher, dua ujung stola dibiarkan menggantung. Diakon mengenakan stola dengan cara menyilangkannya dari pundak kiri ke pinggang kanan. Karena stola merupakan tanda jabatan kepemimpinan liturgi resmi, maka stola hanya boleh dikenakan oleh para pelayan yang ditahbiskan, yaitu uskup, imam dan diakon.
sumber : 1. “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia); 2. “Memahami Simbol-Simbol Dalam Liturgi” oleh E. Martasudjita, Pr; Komisi Liturgi Keuskupan Agung Semarang; Penerbit Kanisius; 3. “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

MENGENAL PERALATAN LITURGI

Setiap kali kita ke gereja dan mengikuti misa, ada pemandangan rutin yang selalu kita lihat, yaitu aktivitas imam di altar yang dibantu oleh para PAPS. Dalam melakuakan aktivitasnya selama memimpin Ekaristi, begitu banyak peralatan dan perlengkapan yang dilibatkan (peralatan dan perlengkapan misa).

Bagi kita yang pernah atau masih menjadi PAPS, peralatan misa ini tentunya sudah begitu akrab dan paling tidak kita tahu nama-namanya. Namun tidak sedikit juga diantara kita yang tidak tahu bahkan masih bingung dengan nama serta kegunaan dari peralatan tersebut. Untuk itu dalam posting kali ini, saatnya kita berbagi soal peralatan misa satu persatu sekalian dengan gambar agar lebih jelas.

1. PIALA (calix = cawan)

Picture
Piala adalah cawan yang menjadi tempat anggur untuk dikonsekrasikan, dimana sesudah konsekrasi menjadi tempat untuk Darah Mahasuci Kristus. Melihat fungsinya, maka Piala harus dibuat dari logam mulia. Piala melambangkan cawan yang dipergunakan Tuhan kita pada Perjamuan Malam Terakhir di mana Ia untuk pertama kalinya mempersembahkan Darah-Nya.

Piala melambangkan cawan Sengsara Kristus (“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku,” Mrk 14:36); dan yang terakhir, piala melambangkan Hati Yesus, dari mana mengalirlah Darah-Nya demi penebusan kita.

2. PURIFIKATORIUM

Picture
Berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat tiga memanjang lalu diletakkan di atas piala.


3. PATENA

Picture
Berasal dari bahasa Latin yang artinya “piring”. Patena, yang sekarang berbentuk bundar,datar, dan dirancang untuk roti pemimpin Perayaan Ekaristi, aslinya sungguh sebuah piring. Dengan munculnya roti-roti kecil yang dibuat khusus untuk umat yang biasanya disimpan dalam sibori, fungsi dari patena sebagai piring menghilang. Maka bentuknya menjadi lebih kecil (Sejak abad 11). Menurut PUMR 2000, "untuk konsekrasi hosti, sebaiknya digunakan patena yang besar, di mana ditampung hosti, baik untuk imam dan diakon, maupun untuk para pelayan dan umat (No. 331).

Patena, hendaknya dibuat serasi dengan pialanya, dari bahan yang sama dengan piala, yaitu dari emas atau setidak-tidaknya disepuh emas. Patena diletakkan di atas purifikatorium.



4. PALLA

Picture
Berasal dari bahasa Latin palla corporalis yang berarti kain untukTubuh Tuhan, adalah kain lenan putih yang keras dan kaku seperti papan, berbentuk bujursangkar, dipergunakan untuk menutup piala.

Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu masuk ke makam Yesus. Palla diletakkan di atas Patena.



5. CORPORALE

Picture
Sehelai kain lenan putih berbentuk bujur sangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali pinggiran korporale dihiasi dengan renda. 

Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan, korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas Palla.


Urutan aturan menyusun peralatan-peralatan tersebut di atas adalah sebagai berikut : 
Piala
Purifikatorium+sendok kecil
Patena (dengan hosti besar diatasnya)
Pala
Corporale


6. SIBORI

Picture
Berasal dari bahasa Latin “cyborium” yang berarti “piala dari logam”,adalah bejana serupa piala, tetapi dengan tutup di atasnya. Sibori adalah wadah untuk roti-roti kecil yang akan dibagikan dalam Komuni kepada umat beriman. Sibori dibuat dari logam mulia, bagian dalamnya biasa dibuat dari emas atau disepuh emas.


7. PIKSIS

Picture
Berasal dari bahasa Latin “pyx” yang berarti “kotak”, adalah sebuah wadah kecil berbentuk bundar dengan engsel penutup, serupa wadah jam kuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis dipergunakan untuk menyimpan Sakramen Mahakudus, yang akan dihantarkan kepada mereka yang sakit, atau yang akan ditahtakan dalam kebaktian kepada Sakramen Mahakudus.


8. MONSTRANS

Picture
Berasal dari bahasa Latin “monstrans, monstrare” yang berarti “mempertontonkan”, adalah bejana suci tempat Sakramen Mahakudus ditahtakan atau dibawa dalam prosesi.


9. AMPUL

Picture
Adalah dua bejana yang dibuat dari kaca atau logam, bentuknya seperti buyung kecil dengan tutup di atasnya. Ampul adalah bejana-bejana darimana imam atau diakon menuangkan air dan anggur ke dalam piala. Selalu ada dua ampul di atas meja kredens dalam setiap Misa.


10. LAVABO

Picture
Berasal dari bahasa Latin “lavare” yang berarti “membasuh”, adalah bejana berbentuk seperti buyung kecil, atau dapat juga berupa mangkuk,tempat menampung air bersih yang dipergunakan imam untuk membasuh tangan sesudah persiapan persembahan. Sebuah lap biasanya menyertai lavabo untuk dipergunakan mengeringkan tangan imam.


11. TURIBULUM

Picture
(disebut juga Pedupaan/wiruk), berasal dari bahasa Latin “thuris” yang berarti “dupa”, adalah bejana di mana dupa dibakar untuk pendupaan liturgis. Turibulum terdiri dari suatu badan dari logam dengan tutup terpisah yang menudungi suatu wadah untuk arang dan dupa; turibulum dibawa dan diayun-ayunkan dengan tiga rantai yang dipasang pada badannya, sementara rantai keempat digunakan untuk menggerak-gerakkan tutupnya. Pada turibulum dipasang bara api, lalu di atasnya ditaburkan serbuk dupa sehingga asap dupa membubung dan menyebarkan bau harum. Dupa adalah harum-haruman yang dibakar pada kesempatan-kesempatan istimewa, seperti pada Misa yang meriah dan Pujian kepada Sakramen Mahakudus.


12. NAVIKULA

Picture
(disebut juga Wadah Dupa) adalah bejana tempat menyimpan serbuk dupa. Dupa adalah getah yang harum dan rempah-rempah yang diambil dari tanam-tanaman, biasanya dibakar dengan campuran tambahan guna menjadikan asapnya lebih tebal dan aromanya lebih harum. Asap dupa yang dibakar naik ke atas melambangkan naiknya doa-doa umat beriman kepadaTuhan. Ada pada kita catatan mengenai penggunaan dupa bahkan sejak awal kisah Perjanjian Lama. Secara simbolis dupa melambangkan semangat umat Kristiani yang berkobar-kobar, harum mewangi keutamaan-keutamaan dan naiknya doa-doa dan perbuatan-perbuatan baik kepada Tuhan.


 13. ASPERGILUM

Picture
Berasal dari bahasa Latin “aspergere” yang berarti “mereciki”, adalah sebatang tongkat pendek, di ujungnya terdapat sebuah bola logam yang berlubang-lubang, dipergunakan untuk merecikkan air suci pada orang atau benda dalam Asperges dan pemberkatan. Bejana Air Suci adalah wadah yang dipergunakan untuk menampung air suci; ke dalamnya aspergilum dicelupkan.


 14. SACRAMENTARIUM

Picture
Atau Buku Misa adalah buku pegangan imam pada waktu memimpin perayaan Ekaristi, berisi doa-doa dan tata perayaan Ekaristi.









dari BELAJAR LITURGI - http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/03/mengenal-peralatan-misa.html



Bilamanakah Imam Mempergunakan Dupa dalam Misa?
oleh: Romo William P. Saunders

Picture
Mengapakah dan bilamanakah imam mempergunakan dupa dalam Misa? 
~ seorang pembaca di Crystal City


Dupa adalah suatu bahan aromatik yang adalah getah dari pepohonan tertentu. Apabila dibakar di atas arang, dupa menghasilkan aroma yang harum. Guna menghasilkan asap yang lebih tebal dan guna menambah harumnya, terkadang wangi-wangian lain dicampurkan ke dalam dupa.

Penggunaan dupa (= ukupan) di masa lampau merupakan hal yang biasa, teristimewa dalam ritus-ritus keagamaan di mana dupa dipercayai dapat menghalau roh-roh jahat. Herodotus, sejarahwan Yunani, mencatat bahwa dupa umum dipergunakan di kalangan masyarakat Assyria, Babilonia dan Mesir. Di kalangan Yahudi, dupa termasuk dalam persembahan syukur minyak, biji-bijian, buah-buahan dan anggur (bdk Bil 7:13-17). Tuhan memerintahkan Musa untuk membangun sebuah mezbah emas tempat pembakaran ukupan (bdk Kel 30:1-10), yang ditempatkan di depan tabir penutup tabut hukum, di depan tutup pendamaian yang di atas loh hukum. 

Kita tidak tahu kapan tepatnya penggunakan dupa dimasukkan ke dalam Misa atau ke dalam ritus-ritus liturgis lainnya. Pada masa Gereja perdana, kaum Yahudi terus mempergunakan dupa dalam ritual Bait Suci mereka, jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa dari sanalah umat Kristiani menerapkan penggunaan dupa dalam ritual mereka.

Dalam liturgi-liturgi St Yakobus dan St Markus, yang dalam bentuknya sekarang berasal dari abad kelima, ada disebutkan mengenai penggunaan dupa. Ritual Romawi dari abad ketujuh mempergunakan dupa dalam prosesi uskup ke altar dan pada hari Jumat Agung. Di samping itu, dalam Misa, pendupaan Injil muncul sangat awal; penggunaannya dalam persembahan, pada abad kesebelas; dan dalam Introitus (= antifon pembukaan), pada abad keduabelas. Dupa juga dipergunakan dalam Benedictus dan Magnificat pada waktu Laudes dan Vesper sekitar abad ketigabelas, dan pada pentahtaan dan pemberkatan dengan Sakramen Mahakudus sekitar abad keempat belas. Lama-kelamaan, penggunaan dupa diperluas hingga ke pendupaan selebran dan klerus yang melayaninya.

Tujuan pendupaan dan nilai simbolik dari asap adalah pemurnian dan pengudusan. Misalnya, dalam Ritus Timur, pada permulaan Misa, bagian altar dan panti imam didupai sementara Mazmur 50, Miserere, dimadahkan demi memohon belas kasihan Tuhan. Asap melambangkan doa-doa umat beriman yang membubung ke surga. Pemazmur bermadah, Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang (141:2). Dupa juga menciptakan suasana surgawi. Kitab Wahyu menggambarkan sembah sujud surgawi sebagai berikut, Datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah (8:3-4).

Dalam Pedoman Umum Misale Romawi, dupa dapat dipergunakan selama perarakan masuk; pada permulaan Misa untuk menghormati salib dan altar; waktu perarakan dan pewartaan Injil; sesudah roti dan anggur disiapkan di altar untuk mendupai bahan persembahan, salib, dan altar, juga imam dan jemaat; waktu Hosti dan Piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing. Imam juga dapat mendupai Salib dan Lilin Paskah. Dalam Misa Pemakaman, pada saat pelepasan jenazah, imam dapat mendupai peti jenazah, sebagai tanda hormat kepada tubuh orang yang meninggal dunia yang telah menjadi bait Roh Kudus pada saat pembaptisan, dan sebagai tanda doa-doa umat beriman agar orang yang meninggal dunia naik kepada Tuhan. 

Penggunaan dupa menambah rasa khidmad dan sakral dalam Misa. Kesan yang ditimbulkan oleh asap yang membubung dan harum dupa mengingatkan kita akan keagungan Misa yang menghubungkan surga dan bumi, dan yang menghantar kita masuk ke dalam hadirat Allah.


* Fr. Saunders is pastor of Queen of Apostles Parish and dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College, both in Alexandria.

sumber : Straight Answers: When Do Priests Use Incense at Mass?

by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright 1999 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com

diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington 

(http://gerejark.blogspot.com/2010/07/bilamanakah-imam-mempergunakan-dupa.html)


Sikap-sikap Liturgi

Picture
Berlutut
Bertekuk lutut berarti memperkecil diri dihadapan Allah. Orang yang sombong selalu mengangkat kepalanya dan menegakkan badannya, merasa lebih tinggi, lebih hebat daripada orang lain. Sebaliknya, orang rendah hati senantiasa menyadari bahwa dirinya amat kecil di hadapan Tuhan. Maka ia berlutut. 

Tunduk Kepala
Menundukkan kepala dan membungkuk merupakan cara-cara menghormati seseorang. Membungkuk adalah tanda penghormatan yang lebih besar. Di altar kita tidak hanya menundukan kepala, tetapi sungguh membungkuk untuk merendahkan diri. 

Berdiri
Pada permulaan Misa, bila imam bersama dengan misdinar datang ke altar, umat berdiri. Sikap berdiri itu merupakan tanda hormat kepada imam yang mewakili Kristus. Berdiri yang baik adalah berdiri tegak dengan kedua kaki dan tidak bersandar pada apapun. 


Duduk
Duduk adalah sikap yang tenang. Duduk adalah sikap orang sedang memikirkan atau mendengarkan sesuatu. Misalnya duduk mendengarkan khotbah, sikap ini menolong kita agar mendengarkan dengan penuh perhatian dan merenungkan apa yang baru didengarnya. 

Berjalan
Kita berjalan, kalau kita ingin menuju suatu tempat untuk melakukan sesuatu. Sama halnya di gereja. Tetapi di gereja tidak pernah tergesa-gesa. Untuk Tuhan kita selalu mempunyai waktu seluas-luasnya. Misdinar yang berjalan tergesa-gesa seperti orang gugup, tidak dapat menciptakan suasana tenang dan khidmat. 

Mengatup tangan
Dari pagi hingga malam hari kita terus-terusan memakai tangan untuk segala macam keperluan. Tangan kita selalu sibuk. Tetapi bila kita mengatup tangan, kita menjadi tenang. Hentikan kesibukan. Kita dapat memusatkan pikiran, dengan menyadari bahwa Kristus bersama dengan kita. Kita berani menyerahkan jiwa dan raga kepadaNya, biarlah Dia yang menjaga dan memelihara kita. 

Berdoa dengan tangan terentang
Dalam misa kita dapat melihat imam beberapa kali merentangkan tangan, yaitu bila mengucapkan doa. Berdoa dengan tangan terentang adalah suatu sikap doa yang sudah dipakai sejak abad-abad pertama. Dengan sikap itu kita menyatakan penyerahan kita kepada kehendak Bapa. Sikap itu mengingatkan kita kepada Yesus yang rela merentangkan tangannya di atas kayu salib. Maka selayaknya kita mengikuti sikap itu, ketika sedang menyanyikan / berdoa Bapa Kami. 

Membuat Tanda Salib
Dengan membuat tanda salib kita mengenangkan pembaptisan kita "Demi nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus", tanda salib merupakan tanda iman kita. Tanda itu kita gunakan untuk memulai dan mengakhiri doa yang kita panjatkan. Ada pula tanda salib kecil yang biasa kita lakukan dengan ibu jari tiga kali ketika Bacaan Injil. 

Adapun kata-katanya adalah "InjilMu kuterima dengan budi, kuakui dengan mulutku dan kusimpan dalam hatiku"

Mengecup
Mengecup adalah tanda untuk menyatakan bahwa kita mencintai seseorang atau sesuatu. Ibadat Ekaristi dirayakan di altar, bahkan Tubuh dan Dara Kristus diletakan di altar. Maka pada awal dan akhir Misa, imam selalu mengecup altar. Itu sebagai tanda bahwa ia menyatakan rasa cinta dan hormatnya bagi altar sebagai tempat kehadiran Kristus. 

Bersalaman
Orang bersalam-salaman dengan banyak cara. Dalam Misa, sebelum komuni, imam kadang-kadang mengajak umat untuk bersalaman (Salam Damai). Hal itu dilakukan dengan berjabat tangan. Kita mau hidup rukun dengan Tuhan, berarti kita mau hidup rukun dengan sesama kita. 

Menepuk dada
Menepuk dada adalah tanda penyesalan. Kita lakukan ketika mengatakan "Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa" dalam doa : saya mengaku. Juga pada mengakhiri doa Anak Domba Allah dengan kata "Kasihanilah kami" kita melakukannya dengan mengepal tangan kanan dan memukul ke dada. 

Bersila
Bersila adalah sikap duduk dengan melipat dan menyilangkan kaki. Sikap doa khas Timur ini, yang tersebar di seluruh Asia Selatan dan Timur, dari India sampai ke Jepang, adalah amat baik untuk dipakai dalam perayaan liturgi juga. Pada saat-saat tertentu misdinar dapat memakai sikap ini. 

Sembah
Sembah juga dikenal di banyaj negara Asia sebagai pernyataan hormat dan penyembahan. Alangkah baiknya bila kita pakai, untuk menyembah Sakramen Mahakudus. 


Sumber http://misdinarkramat.wordpress.com/2011/01/29/sikap-sikap-liturgi/ 


Picture
Picture
Pekan Suci 2014, Gereja St. Laurensius (Photo by : jdb)

Powered by Create your own unique website with customizable templates.